top of page
Search

Imposter Syndrome: Mengapa Orang Kompeten Justru Merasa Tidak Pernah Cukup?

ree

Pernah enggak sih, kamu bertemu dengan seseorang yang kompeten, berprestasi, dan diakui banyak orang, tapi dia sendiri enggak percaya pada kemampuannya, bahkan sering berkata, “Ah, aku cuma beruntung!” Atau jangan-jangan, kamu sendiri yang mengalaminya? Fenomena ini biasa disebut Imposter Syndrome.

 

Imposter syndrome adalah perasaan seolah-olah keberhasilan yang diraih bukan hasil kemampuan diri, melainkan karena keberuntungan, kesalahan orang lain, atau faktor eksternal lain (Kolligian Jr & Sternberg, 1997). Istilah ini diperkenalkan oleh Clance dan Imes (1978). Mereka menemukan bahwa banyak individu berprestasi yang merasa dirinya seperti “penipu (imposter)” dan khawatir suatu saat ketahuan bahwa sebenarnya ia tidak sepintar yang orang lain kira.

 

Misalnya, ada mahasiswa yang menganggap nilai ujiannya yang tinggi hanyalah kebetulan atau dosennya salah memberikan penilaian. Meski bukan satu diagnosis gangguan mental, imposter syndrome dapat disertai gejala seperti cemas, rasa kurang percaya diri, murung, dan frustrasi karena merasa tidak pernah bisa memenuhi standar diri yang tinggi (Clance & Imes, 1978).

 

Kenapa Bisa Mengalaminya?

  1. Perfeksionisme yang maladaptif dan rasa percaya diri yang rendah. Orang dengan perfeksionisme yang tidak sehat (maladaptive perfectionism) dan rasa percaya diri (self-efficacy) yang rendah cenderung lebih rentan mengalami imposter syndrome (Sheveleva et al., 2023). Mereka sering cemas melihat adanya kesenjangan antara standar tinggi yang mereka tetapkan dengan hasil yang dicapai. Akibatnya, mereka menilai diri sendiri secara negatif, merasa seperti “penipu”, terlalu keras mengkritik diri, serta menganggap keberhasilan hanya karena faktor eksternal.

  2. Efek Dunning-Kruger. Dalam psikologi kognitif, hal ini sejalan dengan efek Dunning-Kruger (Kruger & Dunning, 1999). Orang dengan kemampuan tinggi justru lebih sadar akan kompleksitas suatu bidang, sehingga lebih mudah merasa “kurang” dibandingkan orang awam.

 

Jadi, Apa yang Bisa Dilakukan?

Kabar baiknya, ada strategi praktis yang bisa membantu mengurangi imposter syndrome:

  1. Sadari Polanya

Langkah pertama adalah mengenali bahwa perasaan ini umum terjadi, terutama pada orang-orang yang sebetulnya memiliki kompetensi. Kesadaran ini membantu menormalisasi pengalaman dan mengurangi rasa terisolasi.

  1. Ubah Pola Berpikir (Cognitive Reframing)

Alih-alih melihat kesuksesan sebagai keberuntungan, coba tanyakan pada diri, “usaha konkret apa saja yang sudah aku lakukan untuk mencapai hasil ini?” Teknik ini diambil dari prinsip cognitive behavioral therapy (CBT) yang terbukti efektif dalam menangani pikiran negatif.

  1. Kembangkan Self-Compassion

Kristin Neff (2003) menunjukkan bahwa self-compassion (yaitu, bersikap lembut pada diri sendiri saat gagal) dapat mengurangi kecemasan dan kritik diri yang berlebihan. Ingat, gagal itu tidak membuatmu menjadi “penipu”, tetapi merupakan pengalaman yang manusiawi.

  1. Diskusikan dengan Orang Lain

Membicarakan perasaan ini dengan teman sebaya, konselor, atau psikolog bisa membantu. Dukungan sosial terbukti melindungi individu dari dampak negatif imposter syndrome (Sakulku & Alexander, 2011).

  1. Rayakan Pencapaian Kecil

Buat rutinitas mencatat pencapaian sehari-hari sekecil apa pun. Hal ini melatih otak untuk menginternalisasi keberhasilan supaya tidak terlewatkan begitu saja.

 

Penulis Naiva Urfi Layyinah, M.Psi., Psikolog

Referensi

Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241–247. https://doi.org/10.1037/h0086006 

Kolligian Jr, J., & Sternberg, R. J. (1991). Perceived fraudulence in young adults: is there an'imposter syndrome'?. Journal of personality assessment, 56(2), 308-326. https://doi.org/10.1207/s15327752jpa5602_10 

Kruger, J., & Dunning, D. (1999). Unskilled and unaware of it: How difficulties in recognizing one's own incompetence lead to inflated self-assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77(6), 1121–1134. https://doi.org/10.1037/0022-3514.77.6.1121

Sakulku, J., & Alexander, J. (2011). The impostor phenomenon. The Journal of Behavioral Science, 6(1), 75-97. https://doi.org/10.14456/ijbs.2011.6 

Sheveleva, M. S., Permyakova, T. M., & Kornienko, D. S. (2023). Perfectionism, the impostor phenomenon, self-esteem, and personality traits among Russian college students. Psychology in Russia: State of the art, 16(3), 132-148. http://doi.org/10.11621/pir.2023.0310 

 

 
 
 

Comments


Pelayanan Konseling Klinik Satelit UI

Gedung Klinik Satelit Makara UI Lt. 3

Jl. Prof. Dr. Ir. Soemantri Brodjonegoro (Depan Fakultas Teknik UI)

Jam Operasional : 08.00 - 16.00

Email: konseling.satelitmakara@gmail.com

Phone: 0852 1000 1514

Subscribe untuk Dapatkan Update Terbaru

© 2018Layanan Konseling Makara Universitas Indonesia

bottom of page